Pusaran trend kuliner berbalut ruang healing, makin sulit terbendung, terus bergulir bersanding life style dan sosialita.
Identik dengan pola pikir modern, berusaha mengakomodir kebutuhan market, dengan sajian segmen lebih luas dan memuaskan.
Seperti Cafe & Resto "Sambat Luwe, di kawasan Jl. Mayjend Sungkono, Gadang, Malang", milik Alzizi Fahmi putra kedua Gus Mujib Musta"in Ramli pemilik Darul Ulum Agung MX Malang.
Tongkronganya tak sekedar milenial, tapi juga mengusung konsep "Ecletic", yang tampil lebih artistik dan fresh bagi pemburu destinasi instagramable.
Setara hasil evolusi "Cafe & Resto", kekinian.
Serasa memasuki mesin waktu, bernostalgia di jaman demang, persisnya di era perjuangan.
Konsep market demikian sukses memikat segmen lebih luas, selain kebutuhan kuliner.
Bentangan sawah dan artistiknya deorama bebatuan sungai pedesaan, lengkap dengan gemriciknya, pas buat healing mengusir penat.
Demikian sajian ornamen kontruksi rumah kayu jaman "demang, serta perabotnya, tiada hentinya menyita perhatian dan penasaran.
History jadi terkuak, begitu kaya khasanah ragam karya dan kesenian, di jamanya.
Seolah memupus kemasyuran para arsitek modern, yang tak bisa lepas dari waterpass, bor dan paku.
Pesan untuk tetap setia menjaga begitu hebatnya kultur budaya Jawa Dwipa, terasa kuat tersampaikan.
Hakikat manusia harus tetap "tawadhu, seolah menjadi sindirnya.
Belum lagi atmosfir setiap sudut ruang, berlatar klasik dirancang dengan konsep berbeda tak lagi memandang strata.
Sungguh terasa tentram, menganulir ego, menghantar polosnya perbincangan, dari lubuk hati tanpa intervensi.
Hingga obyek terjauh pematang sawah dari celah dan bilik ornamen kayu, mampu lunturkan keluhan yang tak bertepi.
Mengurai, merenung, hadapi kerasnya watak dan kehidupan, juga tersirat pada bebatuan besar bagian panorama, yang akhirnya tertanam di tanah.
Bahkan, unik, classic, juga atraktifnya setiap kompartemen, sarat menjadi ruang private fotography, yang tak bersurat.
Perspektif kombinasi simetris dan Asimetrisnya kontruksi kayu, jadi sulit melawan "latah" untuk segera mengabadikanya.
Belum lagi setelah terangsang dominasi hijau, biru dan coklat, warna primadona para amatir.
Brilian dan jeniusnya sosok Alzizi Fahmi itu, seolah terimplementasi disini.
Loyal menghargai peradaban sesama, dalam hal ini konsumen setianya, yang selalu dianggap cerdas menemukan teka-teki filosofi singgasananya.
Tak lagi prosedur yang jadi tolak ukur dan kepantasan.
Kendati benda mati, tapi atas "kebegawananya", mampu membuat tersenyum tuanya, saat bersandar menikmati kemiri dan kopi.
Konsep demikian ini pula, menu makanan khas masakan emak dan nenek tempoe doloe afdol menjadi gradasi, untuk bernostalgia.
Termasuk nama yang diusung, persis umpatan emak tempo doloe saat esmosi, "engko lak moleh-moleh dewe lek sambat luwe".
Demikian resto yang dibangun diatas lahan 1 hektar ini, pasti jadi singgahan penggemar blakraan, ketika "sambat luwe".
Dan "sambat luwe" begitu familiar, menjadi habit lingkungan teman, sahabat dan kolega yang "pengerten", tanpa harus mengkodenya. skg