Teknologi mesin dan suspensi di road race terkesan berjalan kurang selaras. Ajian mencari traksi paling prima, masih meraba dan terus dicari. Bahkan, suspensi kelas atas belum bisa menjadi jaminan. Latar belakang itu pula, tolak ukur pemakaian suspensi, masih sebatas mengadu brand, terkait sponsor sebagai tim suportnya.
Apalagi setelah masuknya sponsor dalam bentuk tapak kaki atau ban. Chief mekanik yang menaungi kuda besi tim-tim road race jadi makin puyeng. Input rider selalu dicari sebagai tolak ukur di setiap even dengan sirkuit berbeda.
Ironisnya di satu sisi, up grade perfrorma mesin terus berjalan kencang. Tolak ukurnya semakin jelas, dengan dynotest dan tahapan final seting. Cara paling instant juga terus dicari, untuk mensinkronkan dengan tipikal sirkuit yang berbeda.
Dari throttle body, injector, sudut throttle body, camshaft, bahan katup, seteng katup, balancing crankshaft, memainkan titik top balancer weight, ECU – ECM, gigi rasio, sampai knalpot, memang inovatif dan atraktif. Bahkan hampir dalam setiap even, selalu ada perbedaan.
Hasil akhirnya jelas lebih instant, sebab telah ada parameter dan data yang memback up keseluruhan kebutuhan option part mesin, yang telah terukur. Cara demikian, sebenarnya juga bisa sekali diterapkan di suspensi road race. Kan, sama-sama main data, apalagi sirkuit road race layoutnya mudah digambar dan dikonversi dalam bentuk data.
Padahal ketika diselami lebih lanjut, up grade performa mesin sampai peak power dengan data torsi maksimal dan HP maksimal yang paling bermutu, belum berarti bisa menjadi jaminan menang. Mengingat, pada kondisi seperti itu, justru dibutuhkan kontribusi suspensi lebih superior, untuk mengolah pencapaian traksi dan kestabilan lebih optimal, sesuai kebutuhan sirkuit.
Misal, di chicane berkontur 3 titik yang seharusnya, bisa disapu bersih dengan top speed, tapi lain lagi ceritanya saat suspensi kurang memungkinkan diayun pada mekanis kompresi dan rebound-nya.
Mudah diamati saat di chicane di titik ke tiga, kanan, kiri nah setelah balik kanan lagi. Handling kuda besi tak lagi bisa mengikuti manuver rider dan justru handling melawan. Rider malah dapat socktherapy, dan berujung mengurangi speed.
Input rider kepada mekanik pada point ini, dalam kondisi taktis saat di sirkuit atau even berlangsung, hanya disiasati dengan penggantian oli suspensi lebih kental. Bahkan, ada yang justru menambah kapasitas oli suspensinya.
Berharap, mekanis suspensi tak melawan saat dipakai menebas chicane di 3 titik tadi. Tentu saja hal demikian, bukan menjadi sebuah pemecahan yang tepat, justru memunculkan problem baru.
Sebab, saat rebound kelewat lembut, outputnya jadi nggak sinkron dengan kompresi yang telah ditentukan sejak awal di workshop. Apalagi, saat kompresi yang diutak-atik, seting rebound dijamin makin kacau. Late braking pasti drible dan cenderung over steer.
Kencangnya laju up grade performa mesin, layaknya diimbangi dengan up grade teknologi suspensi yang juga terpadu. Kebutuhan menumpas drible, rebound smooth dan menahan saat membaca terjadi braking yang sifatnya berat, seharusnya dicari variabel option part-nya.
Menahan saat membaca terjadinya braking yang sifatnya berat, seperti saat late braking, sudah layaknya mekanik road race mengintip suspensi yang dipakai big bike atau kdua besi softail yang berkapasitas diatas 750 cc.
Di dalam tabungnya dilengkapi Emulator, sebuah perangkat daleman suspensi yang “hanya” bekerja ketika terjadi braking yang sifatnya kejutan dan cukup berat diterima suspensi.
Mekanisnya mirip dengan safety belt, ketika ditarik spontan efek sentrifugal safety belt akan mengunci. Sebaliknya ketika ditarik smooth, tetap molor sesuai kebutuhan.
Demikian Emulator, bisa smooth dengan konsekuensi perpindahan beban yang diterima suspensi, kurva dan intervalnya smooth. Sebaliknya, ketika kejutan yang diterima spontan, sifat mekanisnya akan menahan.
Tinggal, mekanik yang mesti terpacu untuk mengupgrade suspensi. Bagaiamana caranya, dalam dua bumbung suspensi, mampu mengolah mekanis untuk memback up kebutuhan-kebutuhan rider diatas.
Kalau Emulator sudah didapat, maka tinggal dua mekanis suspensi yang cukup dicari. Yakni Teknik atau mekanis cara menumpas drible dan mendapatkan rebound smooth.
Aplikasi penerapan seting rebound adjustable analog, yang seharusnya bisa diaplikasi, juga masih belum tampak disosialisasi. Padahal teknologi seperti ini bisa diciptakan, untuk mengatur ruang rebound berbanding kapasitas oli suspensi yang ditetapkan, berikut pengaturan besar kecilnya lubang sulingan daleman suspense depan.
Cara-cara instan seperti ini yang layak terus dikaji, untuk mengimbangi makin kencangnya laju perkembangan teknologi up grade performa mesin kuda besi.
Agar, semua aspek bagian dari komponen kuda besi bisa saling memberi kontribusi, terkait pemantapan faktor speed, traksi dan handling. Bahkan hal ini dipastikan bisa menjadi peluang, sebagai opsi alternatif dalam menindak lanjuti peta kompetisi kuda besi road race di tanah air.
Lebih dalam lagi, seting suspensi juga mampu dijadikan sebagai resep membangun rasa percaya diri rider, dalam pemilihan titik di wilayah mana yang paling sulit dan pas untuk mengovertake. teks - foto : rio